This is a free and fully standards compliant Blogger template created by Templates Block. You can use it for your personal and commercial projects without any restrictions. The only stipulation to the use of this free template is that the links appearing in the footer remain intact. Beyond that, simply enjoy and have fun with it!

Friday, December 25, 2009

PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA DAN MULTIKULTURALISME

PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA

DAN MULTIKULTURALISME *

OLEH : HERMAN J.WALUYO **

A.Pengantar

            Sastra Indonesia mengalami perkembangan pesat. Periode-periode telah dilalaui (dalam makalah ini digunakan istilah periode bukan angkatan, suatu kategori menurut Prof. Rachmat Djoko Pradopo, 1984) dan sastra Indonesia menunjukkan kemajuan yang pesat. Meskipun kebanyakan sastrawan tidakmau mengatakan  amanat karyanya, namun setiap sastrawan pasti memiliki maksud di dalam menciptakan karyanya. Sastrawan selalu berusaha keras kalau perlu dengan bermatiraga untuk mengekspresikan keinginan kalbunya yang luhur, yaitu mencoba untuk membeberkan rahasia dunia yang dengan pernyataan Ranggawarsitas dalam “Serat Kalatidha”  adalah:”mesu cipta matiraga medhar warananing gaib”. Sastrawan mempunyai komitmen untuk memahami rahasia dunia yang oleh Pater Dick Hartoko dinyatakan sebagai “tanda-tanda zaman” yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa (awam).

            Tanda-tanda zaman itu bias dikatakan berupa malapetaka yang mengancam peradaban, manusia, dan kemanusiaan jika tidak diungkapkan dan kemudian manusia lain yang berwenang menjawabnya kengan kebijakan politik, tindakan, atau pembinaan manusia lainnya. Kita menyadari bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sangat beraneka ragam yang bhineka (dan sejak tahun 1928 dinyatakan sebagai tunggal ika). Sifat bhineka itu adalah sifat das sein, sedangkan sifat tunggal ika adalah das sollen. Sebagai bangsa yang sangat aneka, kita selalu dalam proses tunggal ika bukan dalam arti monokultur dalam arti lebur menjadi satu, namun dengan perbedaan-perbedaan yang kita miliki itu, kita dapat bersatu padu dengan tetap menghargai dan bertoleransi terhadap perbedaan yang dimiliki. Bangsa Indonesia terdiri atas ribuan pulau, ratusan suku bangsa, perbedaan tingkatan social ekonomi, perbedaan adapt istiadat, perbedaan agama, perbedaan kebiasaan hidup, perbedaan cara berpakaian, perbedaan gaya hidup, perbedaan system kekeluargaan perbedaan upacara-uparacara, dan sebagainya. Juga berbeda dalam jenis kelamin, umur, kekayaan, tingkat kepandaian, pengalaman, keterampilan, dan sebagainya. Kalau diadakan pendataan tentang perbedaan yang adadi antara bangsa kita di seluruh tanah air, tentu akan sangat panjang.

            Seluruh bangsa pasti tahu bahwa perbedaan di antara bangsa Indonesia cukup besar. Harus ada jembatan yang bersifat psikologis untuk menghubungkan suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lain. Di samping bahasa, maka sastra Indonesia merupakan sarana pengikat persatuan dan kesatuan bangsa. Melalui sastra Indonesia (bersamaan dengan bahasa Indonesia) telah ditanamkan saling pengertian “cross-cultural understanding” antara suku bangsa yang satu dengan yang lain. Sastrawan (disamping kebebasan berkarya) hendaklah memiliki tanggung moral dan social untuk menyuarakan nafas nasionalisme,napas patriotisme guna persatuan dan kesatuan bangsa. Gejolak kea rah tercabik-cabiknya bangsa kea rah perpecahan ini sering kali muncul dan besar kemungkinan kemunculannya justru didukung oleh cendekiawan yang kurang tanggung jawab moral dan soail demi persatuan Indonesia, terlebih di saat Indonesia memasuki masa desentralisasi  yang memungkinkan isu-isu kedaerahan muncul dan Negara kesatuan yang telah diperjuangkan dan dipertahankan dapat terancam oleh gagasan-gagasan yang bersifat kesukuan dan kedaerahan.

B. Multikulturalisme

Istilah multikulturalisme muncul sekitar tahun 1960-an di negara-negara Anglopone  dalam kaitannya dengan migran-migran yang non-Eropah tentang bagaimana pilihan budaya mereka. Yang lebih popular saat ini adalah makna multikulturalisme dalam arti bagaimana Pemerintah atau kekuasaan yang dominant mengakomodasikan kepentingan dan suara race and etnicity yang dipandang minoritas. Akomodasi hak politik bagi golongan kecil yang tidak berdaya dipandang sebagai kebutuhan besar yang terpenting dari seluruh dunia. Corak dan bentuk multikulturalisme di setiap Negara berbeda tergantung dari kebutuhan budaya yang sangat majemuk itu (Tariq Modood,2009:1).

Sementara itu, Ainul Yaqin (2005) menyatakan bahwa multikulturalisme merupakan suatu gerakan biologis untuk memahami segenap perbedaan yang ada pada diri setiap manusia serta bagaimana perbedaan itu dapat diterima sebagai hal yang alamiah dan tidak menjadi alas an bagi tindakan diskriminatif dengan sikap hidup yang cenderung dikuasai rasa irihati, dengki, dan buruk sangka. Ia menyatakan bahwa pendidikan memegang peranan penting dalam pembentukan multikulturalisme dalam diri setiap anak didik dan pada gilirnnya pada seluruh warga Negara.

Perbedaan-perbedaan yang harus mendapat perhatian untuk tidak menimbulkan sikap dan perilaku yang antipati (tidak senang) adalah perbedaan: gender, klas sosial, bahasa, agama, usia, kemampuan/kecerdasan, etnis (kesukuan), dan kecacatan fisik/mental (difabel) (Ainul: 101 – 253). Dalam pembinaan multikulturalisme disadarkan kepada semua orang bahwa perbedaan yang ada pada setiap manusia itu alamiah dan manusia harus dikterima dihargai, dan dimengerti apa adanya, kelebihan dan kelemahannya dan juga perbedaannya dengan diri kita.

Asyumardi Asra (2007) dengan sangat menarik menyusun buku tentang multikulturalisme dengan judul Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Beliau menyadari tentang kemajemukan bangsa kita dan itu haruskita rawat agar Indonesia tetap tegak dan berdiri. Kita lahir dari kemajemukan yang berikrar untuk bersatu di dalam suatu Negara kesatuan yang perbedaannya masih ada, namun menghargai dan memahami, serta bertoleransi di dalam Bhineka Tunggal Ika. Bahkan disebutkan bahwa kemajemukan adalah sunatullah (2007:1). Kemajemukan juga disebutnya bleesing in disguise.Dipaparkan istilah lain yang sangat erat dengan multikulturalisme yaitu: pluralisme, pluralitas, dan bhinneka (yang sudah ditekadkan untuk tunggal ika). Kemajemukan harus dirawat, dipelihara, diberdayakan, dan difungsionalisasikan baik sudah di masa lalau, masa kini,maupun terus-menerus di masa depan bahkan di masa depan diharapkan Indonesia menjadi Negara bangsa yang lebih baik.

Mengapa jalinan multikulturalisme akhir-akhir ini harus disuarakan lebih lantang?  Menurut Asyumardi, sejak jatuhnya Pak Harto pada 1998 terjadi krisis budaya. Di saat itu, muncullah era reformasi yang diikuti oleh masa yang disebut disintegrasi dengan adanya berbagai macam krisis. Apa yang disebut Asyumardi dengan “jalinan tenunan masyarakat” (fabric of society) tercabik-cabik akibat dari krisis berbagai hal dan terlebih adalah krisis budaya. Eforia kebebasan menyebabkan disintegrasi bidang social politik yang sangat luas. Eforia kebebasan meluas, sehingga muncullah aksi-aksi anrkhis di kalangan masyarakat dan sangat berpengaruh kepada menurunnya etika, moral, kepatuhan kepada hokum, sopan santun pergaulan, keberadaban antar sesame, dan juga merosotnya saling penghargaan antaretnis dan agama berupa konflik yang bersifat berkepanjangan di berbagai daerah, pulau, atau antarpulau (2007:7). Dengan kkrisis budaya tersebut, saling penghargaan, toleransi, pemahaman, dan pengertian budaya dari bangsa yang majemuk ini merosot sekali. Egosentrisme kesukuan dankedaerahan muncul dan membesar, istimewa setelah desentralisasi politik dan pemerintahan.

Proses globalisasi dan penetrasi budaya kapitalisme yang mau tidak mau harus masuk ke Indonesia, sedikit banyak menambah kemelut suramnya kerukunan  dalammasyarakat majemuk. Budaya Barat yang serba instant, hedonistis, kapitalistis, dan konsumerialistis oleh Asyumardi disebut cultural imperialism menggantikan imperialisme lama yang bersifat orientalisme.

Pada Era Orde Baru, kehidupan multikulturalisme tercipta dengan system pemerintahan sentral dan Demokrasi Pancasila yang ketat. Tentulah tidak bijaksana jika kita menoleh ke masa lalu yang juga memiliki cacat fundamental dalam kehidupan majemuk bangsa karena banyaknya manipulasi kekuasaan dan pemaksaan kehendak yang pada gilirannya pasti berakibat pada tumbangnya kekuasaan itu. Di era kini, saat kondisi multikulturalisme menurun, perlu usaha gigih dari berbagai pihak untuk memupuk multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

C. Perkembangan Sastra Indonesia

           Sejak kelahirannya pada Zaman Balai Pustaka (1920), Sastra Indonesia telah memberikan sumbangan penting  dalam persatuan dan kesatuan bangsa. Pendewasaan Bahasa Melayu ke dalam Bahasa Indonesia yang siap diikrarkan pada tahun 1928 sebagai “Satu Bahasa yaitu Bahasa Indonesia”  di samping karena perkembangan bahasa itu sendiri, namun juga karena sumbangan roman-roman dan puisi yang diciptakan oleh sastrawan menyuarakan persatuan dan kesatuan, serta kerinduan akan kemerdekaan Indonesia. Puisi dan prosa fiksi yang diciptakan pengarang sangat kental dengan kerinduan akan persatuan dan kesatuan. Puisi, prosa fiksi, dan drama pada akhirnya memperkenalkan kebudayaan etnis dari budaya Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke.

            Dalam memperkenalkan budaya,masyarakat, dan adapt istiadat etnis, agama, suku, atau budayanya, sastrawan mengungkapnya dengan penuh kejujuran yang memungkinkan di satu pihak hal-hal yang negative dari etnisnya sendiri disikapi secara objektif, di pihak lain, etnis lainnya berusaha memahami, mengerti, dan menghargai hal yang berbeda dari etnis lain.

1.     Puisi

Nafas kebangsaan dan multikulturalisme  tercermin dalam puisi-puisi sejak Muhammad Yamin sampai dengan Sutardji Calzoum Bachri. Muhammad Yamin seorang nasionalis yang wafat saat masih menjabat Menteri Depernas (pada Era Bung Karno) sangat rindu persatuan Indonesia, sangat rindu kelahiran tanah air Indonesia yang merdeka. Hal itu tercermin dalam puisinya “Bahasa, Bangsa”, “Tanah Airku” “Gita Gembala”. Ia tidak pernah menyebut dirinya orang Sumatra,namun menyebut sebagai orang Indonesia.

Sutan Takdir Alisyahbana berdendang tentang Indonesia melalui gegap gempita laut dalam puisi “Menuju ke Laut”:

………………………………

Gemuruh berderau kami jatuh

terhempas berderai mutiara bercahaya

Gegap gempita suara mengerang

dahsyat bahasa suara mengerang.

Keluh dan gegak silih berganti

Pekik-pekik sambut-menyambut.

 

Kami telah menuju ke laut

tasik yang tenang tiada beriak

diteduhi gunung yang rimbun

dari angina dan topan

Sebab sekali kami terbangun

Dari mimpi yang nikmat.

                                                      (Waluyo: 247)

 

Meskipun masih muda, Chairil Anwar memahami usia tua orang lain. Ia juga harus dihargai. Semua  orang juga akan menjadi tua. Di saat tua itu, segala piranti dalam kehidupan kita sudah uzur, sudah loyo, sudah rapuh. Karena itu, sesudah tua, setiap orang siap untuk meninggalkan dunia yang fana ini.

      DERAI-DERAI CEMARA

Cemara menderai sampai jauh

terasa hari akan jadi malam

ada beberapa dahan merapuh

dipukul angina yang terpendam

 

aku sekarang orangnya bias tahan

sudah beberapa waktu bukan kanak lagi

tapi dulu memang ada suatu bahan

yang bukan dasar perhitungan kini.

 

hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendh

dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan

sebelum pada akhirnya kita menyerah.

                                                                  Chailril Anwar, 1979


Bagi Rendra, kehidupan orang-orang papa yang tidak memperoleh kesejahteraan hidup yang memadai harus diperhatikan. Orang-orang papa itu, oleh Rendra  disebut orang-orang tercinta, seperti: ibu tua yang ditinggalkan oleh anak-anaknya, perawan tua, wanita-wanita kesepian, para pelacur, perampok Atmo Karpo, wanita yangmenderita akibat difitnah (Sumilah), dan juga nabi yang disiksa oleh warga desanya. Berikut  disampaikan  “Nyanyian Angsa” yang menunjukkan solidaritasnya kepada pelacur yang sekarat tetapi ditolak oleh pejabat agama. 

NYANYIAN ANGSA

…………………………………..

(Malaikat penjaga firdaus

wajahnya tegas dan dengki

dengan pedang yang bernyala

menuding kepadaku

Maka darahku terus beku

Maria Zaetun namaku

Pelacur yang sengsara

Kurang cantik dan agak tua)

 

…………………………………

Jam empat siang

Seperti siput, Maria Zaetun berjalan

Kerigatnya bercucuran

Rambutnya jadi tipis

Makanya kurus dan hijau

Seperti jeruk yang kering

Lalu jam lima

Ia sampai diluar kota

Jalan tak lagi beraspal

Tapi debu melulu

Ia memandang matahari

Dan pelan berkata:”bedebah”.

Sesudah berjalan satu kilo lagi

Ia tinggalkan jalan raya

Dan berbelok masuk sawah

Berjalan di pematang.

 

…………………………………

Setelah selesai, lelaki itu berkata

“semula kusangka hanya impian

Bahwa lelaki tampan bagai kau

Bakal lewat dalam hidupku”

Lelaki itu tersenyum dengan hormat dan sabar

“Siapakah namamu ?” Maria Zaetun berkata

“Mempelai !” Jawabnya

“Lihatlah engkau melucu !” kata Maria Zaetun

Maria Zaetum menciumi seluruh tubuh lelaki itu

Tiba-tiba ia terhenti

 ia jumpai luka-luka pada tubuh pahlawannya

di lambung kiri

di dua tapak tangan

di dua tapak kaki

Maria Zaetun pelan berkata:

“Aku tahu siapa kamu !”

 

(Malaikat penjaga Firdaus

wajahnya jahat dan dengki

dengan pedang yang menyala

tidak bias apa-apa

aku tak takut lagi

sepi dan duka telah sirna

sambil menari kumasuki taman firdaus

dan kumakan apel sepuasku

Maria Zaetun namaku

Pelacur dan pengantin adalah aku.               

(Blues untuk Bonnie, 1972)

 

Orang yang menderita dan papa seperti Maria Zaetun harus mendapatkan perhatian. Di akhirat (Taman Firdaus) ia diterima sebagai pengantin. Mestinya, di dunia ia tidak disepak dan ditendang seperti anjing.

Taufiq Ismail yang dikenal sebagai penyair demonstrans menyadari benar keindonesiaan dirinya yang merasa bahwa timbul penyimpangan dalampemerintahan selama Rezim Orde Lama. Ia menulis berikut untuk menyadarkan keindonesiaan kita bersama sebagai bangsa yang tidak rela kebersamaan kita diinjak-injak oleh kekuasaan yang bersifat “tirani”. Puisinya yang berjudul “Berikan Indonesiaku Padaku” menunjukkan cinta bangsa dan tanah air dari Taufiq Ismail sebagai bangsa Indonesia.

Dalam Ayat-ayat Api  Sapardi Djoko Damono menunjukkan caranya tersendiri dalam mengajak pembacanya untuk mengutuk para pembakar kota Jakarta dan Solo pada tahun 1998. Ia tidak rela bangsanya menderita, persatuan dan kesatuan tercerai berai oleh ulah jahil orang-orang yang angkara murka.

AYAT-AYAT API

sore itu akhirnya ia berubah juga

menjadi abu sepenuhnya

sbelum sempat menyadari

bahwa ada saat untuk istirahat

 

di antara gundukan-gundukan

yang sulit dipilah-pilahkan

nah, untuk apa pula

       toh segera diterbangkan anginnya selagi hangat

      di akhir isian panjang itu

      tertera pertanyaan

      “apa yang masih tersisa dari tubuhmu”

 

      isi  saja “tak ada”

      tapi, o, ya, mungkin kenangan

      yang tentu juga sia-sia bertahan

 

waktu upacara hamper usai kau tak ingat

bahwa kuburan di kampong sudah penuh

 

mungkin satu-satunya basa-basi yang tersisa

adalah menguburmu sementara dalam ingatan kami.

                                                                                 (1998)

 

 

Dalam pembahasan tentang multikulturalisme di depab telah dinyatakan bahwa ada aneka ragam perbedaan yang harus ditoleransi. Banyak penyair yang memiliki solidaritas kuat terhadap para penderita, mengutuk keraskorupsi karena mengangakan jurang yang ada antara si miskin dan si kaya, dan juga saling pemahaman antara perbedaan desa kota, Jawa luar Jawa, beda agama, dan segala jenis perbedaan yang ada. Dalam perkembangannya, puisi Indonesia telah memberikan sumbangannya bagi pembinaan multikulturalisme  untuk para pembacanya.

2.     Prosa Fiksi

Penggambaran secara jujur adapt istiadat dan budaya etnis tertentu oleh para pengarang akan menciptakan saling pengertian budaya denganpembacanya di seluruh Indonesia. Roman, novel, atau cerpen menjadi duta bagi pengarang untuk menyatakan gagasannya yang luhur baik di kotanya, kampungnya, desanya, atau di daerahnya dengan harapan pembaca mengetahui budaya, adapt istiadat, dan situasi sosiologis masyarakat setempat dengan kekurangan dan kelebihannya. Itulah benang pengingat budaya antara etnis satu dengan etnis yang   lain di Indonesia.

Roman-roman pada Periode Balai Pustaka pada hakikatnya didominasi oleh suasana budaya, adapt, dan suasana sosiologis masyarakat Minangkabau yang matrilineal. Namun di samping itu, sebenarnya dalam suasana masyarakat priyayi, sama saja antara  priyayi Jawa dan priyayi Minangkabau. Keluarga Sitti Nurbaya dan Syamsulbachri pada hakikatnya adalah keluarga priyayi Minangkabau. Perhatikan kendaraan, cara berpakaian, dan gaya hidupnya, pada hakikatnya adalah gaya hidup priyayi Belanda (Barat). Namun demikian, dalam menentukan adapt istiadat makan, rumah, tatacara perkawinan, upacara adapt, dan cara penghormatan kepada orang tua adalah khas Minangkabau. Roman-roman itu dapat dijadikan cermin budaya Minang yang perlu dipahami oleh generasi muda Minang sendiri, dan juga oleh etnis lain sehingga memiliki pengenalan, apresiasi, dan bertoleransi terhadap adapt dan budaya mereka.

Pada Periode Balai Pustaka hanya ada sedikit pengarang roman dari Jawa, antara lain Sutomo Jauhar Arifin. Jika ada persamaan problem tentang kawin paksa dapat dipahami  jika ada persamaan juga siapa yang memaksa. Di Jawa yang memaksa adalah keluarga dengan dasar priyayi yang berpedoman bobot, bibit, dan bebet yang pada hakikatnya sifat kepriyayaian Jawa itu sama dengan ninik mamak di Minangkabau. Mungkin, lebih lanjut muaranya juga sama dengan problem masa kini, yaitu masalah harta benda atau kekayaan. Pembaca dari etnis Jawa dan Minang tentunya memiliki cara pandang yang dapat saling dijadikan materi diskusi sehingga menciptakan saling pengertian, penghargaan, dan toleransi.

Roman pembaharu di periode Balai Pustaka seperti Salah Asuhan, dalam Periode Pujangga Baru seperti Belenggu, dalam Periode Angkatan 45 seperti Atheis dapat dikatakan sebagai roman-roman yang tidak lagi memiliki unsure kedaerahan, namun sudah lebih bersifat universal. Para pengarangnya sudah mengalami hidup modern dan menghayati problem-problem kontemporer keidupan etnisnya pada masa itu. Kehidupan “lupa daratan” dan “kebarat-baratan” seperti Hanafi dapat dialami oleh etnis mana pun juga ada waktu itu. Juga manusia “sok intelek dan sok aktivis” yang merasa merekalah yang paling sukses kiranya dapat dialami etnis mana pun. Begitu juga tokoh religius yang “sok baik” dan berusaha mengentaskan temannya dari jurang atheisme seperti Hasan ada di mana-mana. Kebanyakan, bukan dirinya yang menang, namun dirinya yang ikut terbawa gelombang penyimpangan itu. Yang sangat penting ialah bahwa pembaca memahami dan menyadari, serta mau mengerti adanya manusia-manusia seperti itu dan harus kita sikapi seperti adanya.

Pembaca alim kebanyakan tidak senang kepada prosawan-prosawan seperti Jenar Mahesa Ayu, Ayu Utami, dan Fira Basuki karena pemikiran-pemikirannya tentang hubungan seksualitas yang dipandang “terlalu maju”. Mereka mencoba merenungkan eksistensi wanita menurut perspektif berpikirnya sebagai wanita cosmopolitan yang mengalami kehidupan manusia modern yang sangat beraneka ragam. Kehidupan yang direnungkan belum tentu kehidupannya sendiri, namun bias jadi kehidupan tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat modern yang ingin disampaikan jeritan atau pikirannya itu. Karena sangat geramnya kepada novel-novel mereka bertiga ini, sampai-sampai ada pakar sastra yang menyebut novel mereka adalah novel selangkangan atau novel perlendiran. Padahal dalam novel kita berbicara tidak hanya fisik, namun juga batin manusia, kemungkinan-kemungkinan yang diberikan, pemikiran tentang pembaharuan yang diberikan, dan jalan keluar terhadap keruwetan hidup menghadapi perbedaan perlakuan antarapria dengan wanita, dan sebagainya.

Abidah el Kaliqi dan Andre Hirata boleh dikatakan mampu menghentikan laju diskusi perlendiran dalam novel itu. Apa yang dikemukakan oleh Abidah dalam Perempuan Berkalung Sorban adalah alternatif pemikiran tentang pembaharuan di kalangan pondok pesantren tradisional yang  diobservasinya di daerah Magelang. Namun, mungkin apa yang dipandang wajar oleh Abidah, oleh tokoh-tokoh setempat yang diobservasi bernada berlebihan. Begitu juga kepahlawanan bocah-bocah dari Pulau Belitong yang digambarkan oleh Andre Hirata kiranya dapat disebut berlebihan oleh tokoh di luar Belitong, namun oleh suku bangsa  Melayu Belitong mungkin merupakan hal yang wajar saja. Namun kedua pengarang yang bukunya sangat laris ini telah menyajikan dunia yang beda melalui karya sastra ke depan khasanah pembaca Indonesia yang kemudian akan mengapresiasi gagasannya sebagai bekal multikulturalisme (meskipun apa yang dikemukakan Abidah pernah ditulis oleh Jamil Suherman dalam Umi Kalsum).

Masih dapat dikemukakan contoh-contoh lain yang akan mendukung gagasan yang menyatakan bahwa prosa fiksi dapat menyebarluaskan pemahaman dan penghargaan antar etnis, agama, budaya, kebiasaan, perbedaan status social, perbedaan gender, dan perbedaan bahasa kea rah tolerasni dan saling menghargai dalam kebhinekaan yang bersatu.

Karya dari Manado (Raumanen), Kalimantan (Upacara oleh Korie Layun Rampan), Sulawesi Selatan (Pembayaran oleh Sinansari Ecip), Bali (Tarian Bumi oleh Oka Rusmini), Nusa Tenggara Timur (Sang Guru karya Gerson Poyk), Kalimantan (Tuyet karya Bur Rasuanto), Jawa Tengah (Umar Kayam dan Arswendo Atmowiloto yang menunjukkan masyarakat priyayi; Ahmad Tohari menunjukkan masyarakat santri; Kunto Wijoyo dan Muhammad Diponegoro menunjukkan kelompok masyarakat sastri kota). Karya pengarang dari Jawa itu, misalnya: Para Priyayi, Canting, Satinah dan Wasripin, Ronggeng Dukuh Paruk, dan Mantra Pejinak Ular.Pengarang dari Jawa Barat (Sunda) antara lain: Ramadhan K.H. dengan karyanya Royan Revolusi; dari Irian (Papua) antara lain Dewi Linggarjati (karyanya Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani), Ircham Mahfoedz (karyanya Ratu Lembah Baliem), Don Richardson (karyanya Anak Perdamaian).

3.     Drama

Teks drama yang ada dalam khasanan sastra Indonesia berupa dialog. Jika dalam prosa fiksi dialog hanya selingan, maka  dalam drama, keseluruhan karya itu adalah berwujud dialog. Dalamdialog ini banyak kita jumpai istilah-istilah bahasa daerah yang sulit diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dalam pementasannya pun, dramawan sering menggunakan logat berdialog dengan dialek bahasa daerahnya. Hal ini meskipun mempersulit penonton dari etnis lain, namun menambah apresiasi kepada drama dari etnis yang berbeda. Karya-karya Wisran Hadi (kental dengan warna Minang), Suyatna Anirun (kental dengan warna Sunda), karya Arifin C.Noer dan Riantiarno (kuat pengaruh tarling di Cirebon), karya Heru Kesowo Murti (sangat terpengaruh oleh dagelan Mataram dengan logat Jawa Tengah yang kental), Hanindawan (terpengaruh ketoprak dan dagelan dengan logat Jawa Tengah Solo), dan  Akhudiat (dengan logat Jawa Timur dan pengaruh kentrung yang cukup kental).

Rendra banyak membawa drama Yunani dan Eropa yang mengajak penonton merenungkankemanusiaan yang universal. Penderitaan dan perbedaan manusia hendaknya tidak menjadi halangan untuk kehidupan damai di muka bumi. Itulah kunci kebahagiaan. Meskipun tokoh yang digambarkan adalah raja-raja yang seharusnya bahagia, namun kenyataannya merekamenderita (Oedipus, Hamlet, Machbeth, Panembahan Reso, Pangeran Homburg). Tingginya kedudukan tidak menjamin kebahagiaan, sebaliknya orang yang berpangkat rendah mungkin memiliki banyak probabilitas untuk bahagia. Di samping karya-karya terjemahan, Rendra masih mencari alternative-alternatif untuk mengajak penonton atau pembaca menghargai martabat manusia tanpa embel-embel kebesarannya.

Drama-drama Indonesia (seperti halnya prosa fiksi) bercerita tentang manusia. Untuk memahami manusia, melalui drama akan dipotret manusia lengkap dengan watak dan tingkah lakunya. Pantas kita sampaikan dramawan-dramawan lain yang perlu disebutkan dalam khasanah sastra Indonesia yang turut memasyarakatkan multikulturalisme adalah: Putu Wijaya, Teguh Karya, Jim Lim, Azwar A.N., Usmar Ismail, Taufiq Ismail, Adi Kurdi, dan Ratna Sarumpaet .

D. Wasana Kata

              Baik puisi, prosa fiksi, dan drama menuebarkan gagasan multikulturalisme ke siding masyarakat pembaca atau penonton. Namun, penyebarluasan  itu harus dibantu dengan penayangan di televisi atau media massa yang lain. Demikian juga, pendidikan di sekolah perlu menggalakkan apresiasi sastra dalam kaitannya dengan multikulturalisme.

            Perlu dicetak dan disebarluaskan buku-buku puisi, prosa fiksi, dan drama yang ditulis oleh berbagai etnis yang ada, berbagai profesi, berbagai tema tentang kesadaran berbangsa dalamkemajemukan, sehingga cita-cita kita tidak kandas oleh perpecahan bangsa.

            Guru bahasa Indonesia (yang sekaligus guru sastra) memiliki tugas strategis untuk menyebarluaskan gagasan multikulturalisme melalui puisi, prosa fiksi, dan drama. Sebagai akhir kata perlu saya jelaskan kepada Bagian Keuangan Pascasarjana yang menyatakan bahwa dramawan dalam kehidupan sehari-hari suka berdrama-dramaan. Itu tidak benar. Para dramawan hanya berpura-pura di atas panggung, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari mereka adalah orang yang apa adanya dan berani menyatakan kebenaran.

 

DAFTAR PUSTAKA 

Ainul Yaqin. 2005. Pendidikan Multikultualisme. Yogyakarta: Pilar media.

Asyumardi Asra. 2007. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Jogjakarta: Kanisius   

 

Dewi Linggardani. 2007. Sali. Yogyakarta: Kunci Ilmu.

 

Don Richardson. 1974. Anak Perdamaian. Bandung: Kalam Hidup.

 

Herman J.Waluyo. 2007. Pengkajian Puisi. Salatiga: Widyasari.

 

_______________. 2008. Pengkajian Prosa Fiksi. Salatiga: Widyasari.

 

_______________. 2007. Drama dan Pengajarannya. Surakarta: UNS-Press.

 

Ircham Mahfoedz. 2002.Ratu Lembah Baliem.Yogyakarta: Gita Nagari.

 

Modood, Tariq. 2009. Multiculturalism. http://www.answer.com/topic/multiculturalism. diunduh 13 Desember 2009.

 

Sapardi Djoko Damono. 2000. Ayat-ayat Api. Jakarta: Pustaka Firdaus.

BAHASA DAN SASTRA DALAM PERSPEKTIF MULTIKULTURAL DAN PENGAJARANNYA

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DALAM

PERSPEKTIF MULTIKULTURAL


Pendahuluan

Keragaman yang dimiliki Indonesia sebagai suatu bangsa sungguh tidak pantas kita sia-siakan. Keragaman itu kehendak Allah sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al Hujurat sebagaimana dikutip di atas. Keragaman itu merupakan sebuah anugerah dari Allah SWT yang tak terperikan nilainya. Keragaman yang ada di Indonesia—ibarat sebuah taman yang ditumbuhi beraneka bunga nan indah menawan—perlu kita syukuri. Kesyukuran itu akan membimbing kita untuk mampu menikmati dan memaknai anugerah itu.

Dalam taman raksasa (baca: Indonesia) itu bertumbuh beribu-ribu jenis tanaman dengan segala varietas dan keunikannya. Tak satupun dari varietas itu yang bisa kita abaikan manakala kita tidak menginginkan berkurangnya keindahan taman itu. Penggambaran keindahan sebuah taman belumlah cukup tatkala kita baru menggambarkan satu atau beberapa sudut dari taman nan luas itu. Kita tidak akan dan tidak pernah mampu menangkap dan merasakan keindahan jati taman tersebut jika tidak ada kesediaan dari kita untuk menemukan dan mengakrabi kekayarayaan hayati yang dimilikinya. Pesona dan keindahan taman tercermin dari totalitas kandungannya.

Benarkah ketika kita telah menjelajah luasnya taman, penemuan makna dapat kita rengkuh? Bisa jadi kita akan tetap tidak mampu menangkap dan memaknai keindahan itu, manakala  kita menempatkan dan memandang keindahan itu dari sudut lahiriah semata. Dari sudut pandang ini semua bersifat nisbi. Parameter keindahan yang dimiliki orang berbeda-beda. Betapa banyak orang terkesima dengan indahnya bunga anggrek dan karena itu pula mereka memandangi lekat-lekat dengan perasaan takjub setiap tekstur yang dimilikinya. Namun bagi sebagian orang, keberadaan anggrek dianggapnya sebagai hal biasa dan sama sekali tidak memiliki daya undang. Bagi orang ini, aneka kaktus—yang bagi sebagian orang merasa takut ketika melihatnya—justru lebih menarik.

    Pendeskripsian sebuah taman dengan eneka kandungan hayati yang ada di dalamnya sebagaimana diuraikan di atas sudah barang pasti tidaklah cukup sebagai analogi terhadap keberagaman ke-Indonesia-an kita. Indonesia sebagai negara multikultural memiliki keragaman yang luar biasa. Penduduk Indonesia—yang berjumlah lebih dari 220 juta—terdiri atas 300 suku memiliki dan menggunakan lebih dari 750 bahasa. Mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu, dan pelbagai aliran kepercayaan.

Keberagaman itu hampir takterperikan manakala kita juga melihat dari pandangan mereka terhadap pelbagai fenomena sosial-budaya, ekonomi, politik, dan berbagai fenomena lainnya. Pandangan yang bisa jadi sangat beragam itu—tentang kesetaraan, keadilan, demokratisasi, kebebasan, kerukunan, kesetiakawanan, hak azasi—bukan  saja disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosio-kultural, tetapi juga tingkat pendidikan dan pengalaman hidup mereka di masyarakat. Sungguh semua itu memberi gambaran nyata tentang keberagaman Indonesia.

Dalam tulisan saya (Sarwiji Suwandi, 2006, 2008) telah saya kemukakan bahwa keanekaragaman etnik, bahasa, kebudayaan, dan agama yang kita miliki bisa diibaratkan pisau bermata dua. Keanekaragaman itu, di satu sisi,  merupakan khazanah yang pantas disyukuri dan dipelihara karena jika bisa dikelola dengan baik akan dapat memunculkan berbagai inspirasi dan kekuatan dalam upaya pembangunan bangsa. Keanekaragaman itu pula akan mampu mendinamisasikan kita sebagai sebuah bangsa. Di sisi lain, keaneragaman itu sering menjadi faktor pemicu terjadinya friksi atau konflik.

Potensi konflik tersebut telah diingatkan oleh John Naisbitt dan Alfin Toffler, Futurolog terkemuka, yang memprediksi tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Demikian pula yang dikemukakan Samuel Huntington (1997), seorang futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antarmasyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya.

Di Indonesia, terutama setelah reformasi, konflik di masyarakat merupakan fenomena yang sering kita saksikan. Gesekan antarelemen—yang terkadang bersifat individual atau personal dan menyangkut hal-hal ”kecil”—di masyarakat sering memicu terjadinya kerusuhan dan tindak kekerasan massif. Kekerasan atau kerusuhan itu sering mengakibatkan rakyat yang tidak berdo­sa harus menderita. Kerusuhan Situbondo (1997); Jakarta, Solo (1998); Ambon (1999/2000), Kalimantan (2004), dan Poso merupakan sedikit contoh tindak kekerasan yang mengoyak sendi-sendi kerukunan, keramahtamahan dan kesantunan, dan pilar religiusitas yang kita miliki.

Sehubungan dengan itu, perlu dicari strategi yang efektif dalam memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, politik, budaya, ekonomi dan tentu pendidikan. Pendidikan multikultural, menurut Yaqin (2005: 4-5), menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras. Strategi pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran agar mereka selalu berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis. Pendidikan yang mampu menghasilkan generasi yang memiliki sikap toleransi terhadap perbedaan.

Pendidikan dan pembelajaran bahasa Indonesia dalam perspektif multikultual merupakan salah satu solusi bagi sejumlah masalah yang muncul akibat karagaman yang kita miliki. Oleh karena itu, pemikiran dan partisipasi berbagai pihak pemangku kepentingan pendidikan, khususnya pendidikan bahasa Indonesia, dalam mendesain dan mengimplementasikan pendidikan yang berperspektif multikultural sangat diperlukan. Hubungan sinergis serta kerja kolaboratif antara pengambil kebijakan, pengembang kurikulum, penulis buku atau bahan pelajaran, guru, kepala sekolah, pengawas, dan sebagainya sangat diperlukan bagi terwujudnya generasi yang menghargai nilai-nilai multikultural.

Berkenaan dengan permasalahan di atas, dalam makalah ini lebih lanjut akan diuraikan (1) ideologi multikulturalisme, (2) pendidikan dalam perspektif  multikultural, dan (3) upaya mewujudkan pembelajaran bahasa Indonesia berperspektif multikultural.

 

B. Ideologi Multikulturalisme

Multikulturalisme merupakan acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural. Menurut Watson, sebagaimana dikutip Parsudi Suparlan (2002), multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari  masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah".

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia, menurut Parsudi Suparlan (2002) pada umumnya orang Indonesia masa kini memandang multikulturalisme sebagai sebuah konsep asing.  Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. 

Jika demikian, upaya membangun pemahaman tentang multikulturalisme dalam upaya mewujudkan masyarakat multikultural menjadi sebuah kebutuhan. Memperbicangkan multikulturalisme menuntut kita untuk memperbincangkan berbagai permasalahan yang gayut dengan ideologi tersebut, seperti politik dan demokrasi, perlindungan Hak Asasi Manusia, penegakan hukum dan keadilan, ekonomi serta kesempatan bekerja dan berusaha, kesadaran sosial, penegakan etika dan  moral, dan hak budaya komunitas. Oleh karena itu, upaya mewujudkan masyarakat multikultural menuntut partisipasi berbagai elemen masyarakat dan bangsa.

Permasalahan yang kita hadapi dalam upaya menuju dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang multikultural sangat kompleks. Sehubungan dengan itu, saran antropolog Indonesia, Parsudi Suparlan (2002), sangat relevan. Menurutnya, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan oleh ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat, mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan keahlian akademik masing-masing. Dengan demikian, secara bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.

 

C. Pendidikan dalam Perspektif Multikultural

Banyak pakar memberikan takrif yang berbeda-beda tentang pendidikan multikultural. Pendapat sejumlah ahli tersebut dikemukakan Mendelsohn dan Baker (2002) berikut ini. Menurut Orstein dan Levine (dalam Mendelsohn dan Baker (2002), pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memfokuskan pada penyediaan kesempatan yang setara untuk siswa yang pola-pola kultural dan atau bahasanya membuatnya sulit untuk bisa berhasil pada program-program sekolah tradisional. Banyak program multikultural juga menekankan sikap dan hubungan antarkelompok dan ras yang positif. Meskipun begitu, tidak bisa disimpulkan bahwa multikulturalisme hanya dimaksudkan untuk meningkatkan citra diri (self-image)  dan meningkatkan pembelajaran para siswa minoritas. Di antara tujuan-tujuan utama pendidikan multikultural adalah untuk meyakinkan bahwa masing-masing kelompok siswa  mendapatkan pengetahuan dan apresiasi terhadap kelompok ras dan etnik lain.

            Kriteria Departemen Pendidikan Iowa untuk pendidikan multikultural, sebagaimana dijelakan oleh Thompson (dalam Mendelsohn dan Baker, 2002), memandatkan bahwa siswa harus bisa memahami diri mereka sendiri dan orang lain sebagai mahluk kultural, mengenali perbedaan domestik dan global, memahami pengaruh keanggotaan suatu golongan dan dinamika diskriminasi.

            Sementara itu, menurut Nieto (2002),  pendidikan multikultural sebagai sebuah proses reformasi sekolah yang komprehensif dan pendidikan dasar untuk semua yang dicirikan oleh tujuh sifat dasar, yaitu pendidikan anti rasis, pendidikan dasar, penting untuk semua siswa, merembes melalui kurikulum, pendidikan untuk keadilan sosial, sebuah proses, dan pedagogi kritis.  Nieto menandaskan bahwa semua anak memerlukan pendidikan multikultural agar mereka siap berpartisipasi dalam dunia yang beragam tempat mereka menjadi warga negara.

Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa pendidikan multikultural tidak selalu merupakan pendekatan yang bisa diterima secara universal. Sementara ada ruang yang melarang presentasi yang menggebu-gebu dari  para pengkritiknya. Menurut Banks (dalam Mendelsohn dan Baker, 2002), salah seorang pengkritik menilai bahwa pendidikan multikulturalisme telah “dibayang-bayangi oleh debat pahit yang telah meningkatkan ketegangan etnis dan ras”.

Berdasarkan batasan-batasan tersebut dapat dikemukakan sejumlah unsur penting  yang ditekankan dalam pendidikan multikultural. Unsur-unsur itu adalah (1) pengenalan  perbedaan domestik dan global; (2)  pemberian kesempatan yang setara untuk semua siswa; (3) penekanan pada sikap dan interaksi positif antarkelompok dan ras; (4) pemerolehan pengetahuan dan apresiasi antarkelompok ras dan etnik; (5) penumbuhkembangan pemahaman tentang suatu golongan dengan cara mengajarkan sejarah, budaya, dan kontribusinya; (6) penekanan pada persamaan dan pluralisme kultural; (6) penekanan pada keadilan sosial; dan (7) penekanan pada pedagogi kritis.

Gagasan pendidikan multikultural berawal di Amerika yang memiliki akar sejarah tentang gerakan hak asasi manusia (HAM) dari kelompok-kelompok tertindas di negeri tersebut. Banyak pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Tuntutan agar lembaga-lembaga pendidikan konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan makin gencar disuarakan oleh para aktivis. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dipandang sebagai awal konseptualisasi pendidikan multikultural.

Tahun 1980-an dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial (Sanusi, 2009). 

Multikulturalisme dipahami sebagai pandangan dunia (worldview) dan selanjutnya diwujudkan dalam “politics of recognition.” Sejalan dengan pengertian multikulturalisme yang sangat beragam serta konsep dan praktiknya yang cenderung berkembang, Bikhu Parekh (dalam Hidayat Ma’ruf, 2009) membedakan lima macam multikulturalisme berikut ini.

(1)   Multikulturalisme isolasionis, mengacu kepada kehidupan masyarakat yang di dalamnya berbagai kelompok kultural menjalankan kehidupaannya secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang minimal satu sama lain. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya.

(2)   Multikulturalisme akomodatif, dalam masyarakat yang plural, mereka yang memiliki kultur dominan membuat penyesuaian-penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka; sebaliknya kaum minoritas tidak menantang kultur dominan.

(3)   Multikulturalisme otonomis, dalam masyarakat plural, kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat yang semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.

(4)   Multikulturalisme kritikal atau interaktif, kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelompok budaya dominan tentu saja cenderung menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa untuk menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-kelompok minoritas. Karena itulah kelompok-kelompok minoritas menantang kelompok kultur dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi penciptaan secara bersama-sama sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara genuine.

(5)   Multikulturalisme kosmopolitan, yang berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat yang setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

Ide pendidikan multikultural akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat pesan-pesan berikut ini. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.

Pendidikan multikultural, menurut Yaqin (2005: 26) mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal pendidikan multikultural adalah membangun wacana pendidikan multikultural di kalangan guru, dosen ahli pendidikan, pengambilan kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa (khususnya mahasiswa LPTK).  Sementara itu,  tujuan akhir pendidikan multikultural ini adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi mereka diharapkan juga mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis, dan humanis.

 

 

D. Mengupayakan Pendidikan Bahasa Indonesia Berperspektif Multikultural

Dalam era reformasi kita bertekad untuk membangun suatu masyarakat Indonesia baru, yaitu masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang demokratis terdiri dari para anggota masyarakat yang cerdas. Manusia yang cerdas bukan hanya semata-mata memiliki kecerdasan intelektual, tetapi berbagai kecerdesan seperti kecerdasan emosional dan kecerdasan etika serta estetika. Dengan singkat anggota masyarakat yang cerdas menjadi pilar-pilar dari masyarakat Indonesia baru adalah manusia yang terdidik dan berbudaya (educated and civilized human being) (Tilaar, 2000: 208-209).

Gagasan pendidikan multikultural juga telah terakomodasi dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 4 (1) UU tersebut dinyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pendidikan multikultural sangat berperan untuk membangun sikap toleransi serta kesadaran siswa untuk memiliki perilaku humanis, pluralis, dan demokratis. Pendidikan multikultural akan mampu meningkatkan kohesifitas, soliditas, dan intimitas di antara siswa yang keragaman agama, etnik, budaya, pandangan, dan berbagai perbedaan lainnya.

Resep pendidikan multikultural sebagai solusi permasalahan dalam masyarakat majemuk tampaknya mengahadapi tantangan yang tidak ringan. Anita Lie (2006)  mengemukakan tiga variabel penting yang yang menjadi kendala bagi pelaksanaan pendidikan multikultural, yaitu homogenisasi, kurikulum (khususnya bahan ajar), dan kualitas guru.

Fenomena homogenisasi terjadi dalam dunia pendidikan akibat tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan. Para siswa tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai latar belakang sosio-ekonomi, agama, dan etnisitas. Terjadi pengelompokan anak berdasar agama, kelas sosio-ekonomi, ras, dan suku. Tiap hari anak-anak bergaul dan berinteraksi hanya dengan teman segolongan. Jika interaksi di luar sekolah juga demikian, pengalaman anak-anak untuk memahami dan menghargai perbedaan menjadi amat langka.

Materi merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Anita Lie (2006) mengungkapkan bahwa buku ajar yang digunakan di SMA—khususnya buku ajar bahasa Inggris—masih.menunjukkan ketidakseimbangan dan bias yang amat membatasi kesadaran multikultural peserta didik. Ungkapan You are what you read (’Anda dibentuk oleh apa yang Anda baca”) perlu melandasi penyusun kurikulum. Jika siswa disodori bahan-bahan pelajaran yang mengandung bias (kelas, gender, etnis, agama, suku), siswa akan tumbuh menjadi manusia dengan praduga dan prasangka negatif terhadap orang lain yang berbeda.

Guru merupakan faktor penentu bagi keberhasilan praktik pendidikan dan pembelajaran. Jika kelayakan dan kompetensi guru di Indonesia umumnya masih di bawah standar, khususnya untuk mengelola pembelajaran multikultural, maka keefektifan pelaksanaan pembelajaran multikultural tentu terkendala.

Berkenaan dengan pendidikan multikultural, Tilaar (dalam Anita Lie, 2005) mengupas model pendidikan multikultural di beberapa negara. Menurutnya, tidak ada satu model pendidikan multikultural yang paling cocok untuk suatu bangsa atau komunitas. Model pendidikan multikultural di Indonesia harus berdasar Pancasila yang telah disepakati para pendiri bangsa sebagai jaminan NKRI. Pendidikan multikultural bertujuan mengembangkan manusia Indonesia yang cerdas. Manusia cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga bermoral, bersikap demokratis, dan empati terhadap orang lain. Manusia cerdas menghargai diri sendiri dan orang lain dari berbagai latar belakang berbeda.

Selaras dengan komitmen dan rekomendasi yang dikeluarkan pada tahun 1994, pendidikan multikultural sejalan dengan empat pilar pendidikan yang dirumuskan UNESCO, yaitu: (1) learning to know, (2) learning to do yang bermakna pada penguasaan kompetensi dari pada  penguasaan keterampilan, (3) learning to be, dan (4)  learning to live together (with others). Pilar pertama menekankan pada proses belajar-mengajar itu sendiri, yakni pendidikan sebagai suatu cara mengajarkan bagaimana siswa belajar secara benar dan baik menurut ukuran-ukuran tertentu yang disepakati. Pilar kedua menekankan pada pembekalan kecakapan (life skill) secara lebih luas. Pilar ketiga menekankan pada cara menjadi manusia sesuai dengan kerangka pikir siswa (Sarwiji Suwandi, 2006: 2).

Pendidikan konvensional belum secara mendasar mengajarkan sekaligus menanamkan keterampilan hidup bersama dalam komunitas yang majemuk secara agama, etnik, dan kultural. Berkenaan dengan itu, pendidikan multikultural sangat relevan dengan penyuksesan pilar keempat pendidikan UNESCO di atas, yaitu how to live and work together with others.

            Banyak hal yang perlu dilakukan dalam praktik pendidikan dalam upaya penanaman pilar keempat sebagai suatu jalinan komplementer terhadap ketiga pilar lainnya. Hal itu antara lain (1) penumbuhkembangan sikap toleran, simpati, dan empati antarpeserta didik dalam memandang perbedaan; (2) penumbuhkembangan sikap terbuka dalam penyelesaian berbagai permasalahan bersama; (3) penumbuhkembangan sikap kebersamaan; (4) penumbuhkembangan akses sama dalam partisipasi; dan (5) pematangan berpikir dan pendewasaan emosional.

Pendidikan multikultural sejalan dengan pengembangan dan pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan yang pada tahun 2006 disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP). Prinsip pengembangan itu antara lain: (1) pengalaman belajar dirancang dengan memperhatikan keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika; (2) penguatan integritas nasional dicapai melalui pendidikan yang menumbuhkembangkan pemahaman dan penghargaan terhadap perkembangan budaya dan peradaban bangsa Indonesia yang mampu memberikan sumbangan terhadap peradaban dunia; dan (3) pengembangan kecakapan hidup yang meliputi keterampilan diri (personal skill), keterampilan berpikir rasional (thinking skill), keterampilan sosial (social skill), keterampilan akademik (academic skill), dan keterampilan vokasional (vocational skill) dan semua itu dilakukan melalui pembudayaan membaca, menulis, dan berhitung, sikap, serta perilaku yang adaptif, kreatif, kooperatif, dan kompetitif. Sementara itu, prinsip pelaksanaan antara lain bahwa penyediaan tempat yang memberdayakan semua peserta didik secara demokratis dan berkeadilan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap sangat diutamakan. Seluruh peserta didik dari berbagai kelompok, seperti kelompok yang kurang beruntung secara ekonomi dan sosial, yang memerlukan bantuan khusus, berbakat, dan unggul berhak menerima pendidikan yang tepat sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya (Depkdiknas, 2003a: 2-3).

Sejalan dengan beberapa tantangan di atas, perlu ada upaya sinergis dari berbagai pihak untuk mewujudkan pendidikan berperspektif multikultural.  Sebagaimana telah disinggung di atas, pihak-pihak yang perlu berpartisipasi dalam upaya itu—khususnya untuk mewujudkan pendidikan bahasa Indonesia berperspektif multiultural—antara lain adalah pengambil kebijakan, penulis buku pelajaran, dan guru bahasa Indonesia.

Banyak peran yang dapat diambil oleh pengambil kebijakan, yang antara lain dalam pengembangan kurikulum Praktik pendidikan multikultural dapat dimplementasikan manakala tersedia kurikulum yang berwawasan multikultural. Dari sudut ini, meskipun tidak secara eksplisit menyebut dan menggunakan kata  multikultural. Kurikulum Mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia telah nyata mengakomodasi konsep multikultural. Standar kompetensi mata pelajaran ini disiapkan dengan mempertimbangkan kedudukan dan fungsi Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa Negara serta sastra Indonesia sebagai hasil cipta intelektual dalam produk budaya, yang berkonsekuensi pada fungsi dan tujuan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai (1) sarana pembinaan kesatuan persatuan bangsa; (2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya, (3)  sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengembangkan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) sarana penyebarluasan pemakaian Bahasa dan Sastra Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan; (5) sarana pengembangan penalaran; dan (6) sarana pemahaman beranekaragam budaya Indonesia melalui khazanah kesastraan Indonesia (Depdiknas, 2003b).

Dalam konteks pendidikan multikultural, guru perlu mencegah agar pemahaman para siswa yang ekslusif ini tidak berkembang atau dapat dieliminasi. Guru—dan sudah barang pasti bersama stake holders—dituntut memiliki program aksi dan strategi implementasi dalam upaya membangun pemahaman keberagamaan yang lebih inklusif-pluralis, dialogis-persuasif, kontekstual, dan humanis. Dengan perkataan lain, pemahaman lintas budaya perlu dimiliki oleh guru. Dalam konteks pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, guru dituntut memiliki wawasan yang cukup tentang bagaimana seharusnya menghargai keragaman bahasa. Wawasan ini penting dimiliki oleh seorang guru agar segala sikap dan tingkah lakunya menunjukkan sikap yang egaliter dan selalu menghargai perbedaan bahasa yang ada.

Guru juga dituntut untuk senantiasa berupaya meningkatkan pemahaman dan kemampuan komunikasi lintas budaya para siswa.  perlu secara terus-menerus dilakukan guru. Upaya itu antara lain dengan memilih, menyediakan, dan menggunakan materi ajar yang berwawasan multikultural. Perlu dihindari buku-buku pelajaran yang bermuatan rasis dan provokatif terhadap munculnya pertentangan yang destruktif, dan sebaliknya perlu dipilih dan digunakan buku-buku pelajaran yang peka akan nilai-nilai keragaman, nilai-nilai multikultural. Tatkala materi itu belum tersedia, guru dituntut mampu mengembangkan materi ajar yang berperspektif multikultural tersebut, yakni materi ajar yang menyajikan kekayaan budaya dari berbagai etnis. Guru bahasa dan sastra Indonesia dapat menyajikan berbagai khazanah karya sastra yang berasal dari berbagai daerah dan komunitas budaya.

            Guru perlu mengupayakan terciptanya kondisi masyarakat belajar (learning community). Konsep ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh melalui sharing antarteman dan antarkelompok. Untuk itu guru perlu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Keanggotaan dalam kelompok itu hendaknya bersifat heterogen. Dengan demikian, melalui kelompok itu dimungkinkan siswa yang kurang bisa belajar dari yang mampu atau siswa yang mampu mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan sebagainya (Sarwiji Suwandi, 2006, 2008).

            Masyarakat belajar dapat terjadi apabila terdapat proses komunikasi dua arah; terdapat hubungan dialogis. Kegiatan saling belajar bisa terjadi jika tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, dan semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari.

Penggunaan materi dari berbagai etnik dan budaya juga perlu dilakukan oleh para penulis buku pelajaran. Hal ini juga penulis lakukan tatkala menyusun buku-buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk sekolah dasar maupun sekolah menengah. Pemilihan ini tidak semata-mata didasarkan pada orientasi area penggunaan buku, tetapi lebih didasarkan pada pengenalan khazanah budaya Indonesia (bahkan dunia) agar para peserta didik memilki pemahaman dan perilaku berwawasan multikultural.

 

E. Penutup

Keanekaragaman etnik, bahasa, kebudayaan, dan agama yang kita miliki merupakan khazanah yang pantas disyukuri dan dipelihara karena keragaman itu dapat memunculkan berbagai inspirasi dan kekuatan dalam upaya pembangunan bangsa. Namun,  keaneragaman itu sering menjadi faktor pemicu terjadinya friksi atau konflik. Konflik itu selama satu dekade terakhir merupakan fenomena yang sering kita saksikan.

Berkenaan itu, keberagaman dan kekayaan budaya Nusantara hendaknya diakomodasi dalam kurikulum dan jangan hanya sebatas ikon dan simbol budaya. Depdiknas disarankan mengadopsi pendidikan multikultural untuk diberlakukan dalam pendidikan, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA.  Pendidikan multikultural itu diintegrasikan dan menjadi bagian dari kurikulum sekolah (intrakurikuler) atau dapat dilakukan sebagai kegiatan pengembangan diri yang bersifat ekstrakurikuler. Selain itu, perlu pula disiapkan dan dilaksanakan program yang memfasilitasi peningkatan kompetensi guru, khususnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia berperspektif multikultural.

 
DAFTAR PUSTAKA

 

Anita Lie. 2006. “Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural,” dalam Kompas, 1 September. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/20920

Banks, J. 1993. Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education.

Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004: Kerangka Dasar. Jakarta: Depdiknas.

_______. 2003b. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdiknas.

_______. 2006. Standar Isi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMA/MA. Jakarta: BSNP.

Hidayat Ma’ruf. 2009.“Pendidikan Multikultural: Usaha Menumbuhkan Kemampuan untuk Menghormati Keragaman

http://hidayah-ilayya.blogspot.com/2009/08/pendidikan-multikultural-usaha_31.html

Mendelsohn, Jere and Fredrick J Baker. 2002. “The Interdiciplinary Project Model: A Workable Response to the Challenges of Multicultural Education In Our Nation’s Secondary Schools”. http://www.newhorizons.org/strategies/multicultural/mendelsohn.htm,

diunduh 15 Desember 2009.

 

 

Nieto,  Sonia. 2002. Language, Culture, and Teaching: Critical Perspective for a New Century http://www-writing.berkeley.edu/TESl-EJ/ej20/r9.html, diunduh 15 Desember 2009.

 

Parsudi Suparlan. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. http://www.duniaesai.com/antro/antro3.html, diunduh 15 Desember 2009.

Sanusi, A. Effendi. 2009. Pendidikan Multikultural dan Implikasinya. http://blog.unila.ac.id/effendisanusi/?p=412, diunduh 18 Desember 2009.

Sarwiji Suwandi. 2006. ”Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Berwawasan Multikultural”, makalah dipresentasikan pada Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra I yang diselenggarakan Program Studi Pendidikan Bahasa  dan Sastra Indonesia Program FKIP Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2 September  2006.

_______. 2008. ”Peran Cerita Rakyat dalam Menumbuhkembangkan Wawasan Multikultural Siswa”, makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Sumbangan Cerita Rakyat dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia  yang diselenggarakan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 21 Juli 2008.

_______. 2008. ”Peran Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Menghasilkan Generasi Multikultur”, makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Peran Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Konteks Multikultural yang diselenggarakan HIMA Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS Universitas Negeri Semarang, 2 November 2008.

Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Qanaah Dan Toleransi” http://paismpn4skh.wordpress.com/2009/11/18/qanaah-dan-toleransi/, diunduh 16 Desember 2009 

Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultur: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.


Oleh:Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.